-BENAK REKTOR-

KAJIAN TRANSDISIPLINER (1) PUASA RAMADAN DALAM KAJIAN TEO-ANTROPO-ANATOMIS EDUKATIF

Dipublish Tanggal 16 April 2025 Pukul 02:56 Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag - Rektor IAIN Kendari

Puasa yang terdiri dari puasa wajib dan puasa sunat sebagai salah satu ajaran agama telah disyariatkan dalam agama Islam. Puasa wajib yang dilaksanakan pada bulan Ramadan tidak kering dari riam perspektif keilmuan, terutama dari perspektif trandisipliner, selain dapat dijelaskan secara mono-intra-antar-multidisipliner dan interdisipliner. Bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan dalam almanak hijriah memiliki makna kognitif yang mendalam. Secara Teo-Antro-Anatomis Edukatif, Ramadan mendidik sembilan fungsi organ tubuh yang harus dijaga dan dikendalikan oleh manusia. Sembilan fungsi organ tubuh manusia yang menjadi dimensi anatomis dari Ramadan sebagai bulan kesembilan dari tahun Hijriah, yaitu: 

Pertama, fungsi pemikiran yang berpangkal di otak. Neurologi manusia yang berpuasa selama Ramadan tidak tertuju pada sesuatu yang bersifat negatif, seperti berburuk sangka (prejudice), melakukan pembunuhan karakter (character assasination) mewacanakan konflik, atau pikiran negatif lainnya. Sebab manakala pemikiran seperti itu yang muncul, maka akan mengurangi profit puasa atau bahkan menghilangkan nilai profitabilitasnya. 

Kedua, fungsi penglihatan yang berporos di mata. Indra penglihatan manusia mesti dapat dikendalikan pada saat berpuasa. Indra penglihatan manusia tidak digunakan untuk menyaksikan sesuatu yang tidak layak ditonton karena akan bisa merusak mental, pikiran, dan pahala puasa kita. Apalagi pengaruh media sosial dan media onlline lainnya sangat liar biasa hari ini. Tidak saja menggempur para netizen di ruang publik, tetapi bahkan sampai ke ruang privat, dan orang dengan mudahnya terpengaruh, bahkan pada kondisi tertentu media sosial dijadikannya sebagai "guru" untuk menjastifikasi realita yang terjadi.

Ketiga, fungsi pendengaran yang berpusat di telinga. Pendengaran orang yang berpuasa harus dapat dikendalikan. Tidak digunakan untuk mendengarkan isu-isu yang tidak berdasarkan data dan realita. Telinga tidak dipakai untuk mendengarkan pembicaraan yang mengandung hoaks, fitnah, ghibah, dan namimah. Sebaliknya, telinga digunakan untuk mendengarkan ayat-ayat Allah dan informasi lain yang bermanfaat.

Keempat, fungsi penciuman yang terletak di hidung. Indera penciuman kita harus bisa dikelola dengan baik. Hiidung manusia tidak boleh digunakan untuk mencium sesuatu yang haram. Ketika berpuasa, orang tidak boleh memposisikan hidungnya untuk mencium aroma makanan dan minuman yang bisa memakruhkan puasanya. Bahkan bisa mendorong yang bersangkutan untuk membatalkan puasanya akibat dorongan penciuman yang mendorong nafsu manusia guna berbuat demikian.

Kelima, fungsi pengucapan dan pengecapan yang berada pada mulut. Mulut manusia ini harus dijaga agar tidak mendatangkan kemudaratan. Benar fameo menyatakan bahwa "mulutmu adalah harimaumu". Hal ini mengandung makna bahwa alat ucap kita ini harus mampu dikendalikan untuk tidak mengucapkan kata-kata kasar dan kotor. Sebaliknya kita harus mengucapkan kalimat yang teduh dan menyejukkan serta tidak menyakiti hati orang yang mendengarkannya. Mungkin saja kalimat yang disampaikan mengandung kebaikan, tapi karena cara menyampaikan dengan nada tinggi dan kasar, maka membuat orang lain tersinggung yang mengakibatkan renggangnya hubungan silaturahmi di antara sesama. 

Keenam, fungsi perpegangan yang berpusat di tangan. Tangan manusia pun harus bisa dikendalikan. Tidak digunakan untuk memukul orang tanpa alasan hukum yang membenarkan. Sebaliknya tangan kita digunakan untuk membantu orang lain, memberikan sedekah, infak atau hibah kepada orang yang membutuhkan. Kata bijak menyatakan "tangan di atas lebih mulia dari pada tangan di bawah". Ini artinya kita harus gemar bersedekah dan membantu orang lain yang mengalami kesulitan atau orang yang membutuhkan bantuan kita. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat buat orang lain. Kesempatan untuk meolong orang lain atau membantu pembangunan fasilitas umum mesti dilakukan dengan sebaik-baiknya. Dalam kondisi berpunya atau tidak berpunya secara materil serta dalam waktu luang dan sempit sedapat mungkin kita menyisihkan sebagian harta kita untuk kemaslahatan umum.

Ketujuh, fungsi pencernaan yang terakumulasi di perut. Hal ini dimaksudkan bahwa perut kita tidak boleh sembarangan diasupi dengan nutrisi yang haram atau syubhat. Perut kita mesti dijaga agar selalu mengkonsumsi makanan dan minuman yang halalan thayyiban. Halal artinya tidak mengandung unsur haram atau syubhat dan thayyiban maksudnya harus bermanfaat bagi kesehatan, pertumbuhan sel, aliran darah yang lancar, membantu peningkatan imun dan sebagainya.

Kedelapan, fungsi pengembangbiakan yang bertitik pangkal pada alat reproduksi. Manusia normal tentu menghendaki pasangan hidupnya. Pasangan hidup ini digambarkan dalam Alquran sebagai lahan bercocok tanam yang dapat didatangi dari arah mana saja yang kita kehendaki. Dengan demikian syahwat manusia tersalurkan pada tempatnya, bukan pada tempat yang lain.

Kesembilan, fungsi pergerakan yang bertumpu pada kaki. Pada umumnya pergerakan manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya menggunakan kaki. Hanya pada kondisi tertentu saja orang menggunakan alat lainnya untuk bergerak atau bergeser dari lokus yang satu ke lokus lainnya. Maknanya bahwa kaki yang kita miliki harus digunakan untuk mengunjungi tempat-tempat yang baik dan mendatangkan pahala, seperti berjalan untuk menunaikan salat di masjid, menghadiri majelis ilmu, mengikuti seminar, workshop, atau pelatihan lainnya yang positif. Tidak sebaliknya, justru digunakan untuk medatangi tempat-tempat maksiat yang menghasilkan dosa. 

Puasa yang dijalankan kaum mukminin di bulan Ramadan ini, merupakan Puasa Formatif yang secara formal prosedurnya telah ditentukan takaran waktunya, yakni sebulan penuh serta telah ditetapkan waktu untuk sahur dan berbuka puasa, demikian pula telah ditentukan hal-hal yang dapat membatalkannya. Puasa formatif ini adalah sarana untuk melatih kita agar terbiasa mengendalikan fungsi jasmani dan berbagai kebutuhan syahwat yang menggoda.  

Setelah Puasa Formatif yang kita lakukan selama sebulan penuh ini, maka selanjutnya kita akan melaksanakan Puasa Transformatif yang berlangsung selama sebelas bulan. Puasa Transformatif ini berguna untuk menilai apakah Puasa Formatif tadi telah terimplementasikan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari atau tidak.

Dengan demikian, sejatinya kita tidak pernah putus untuk berpuasa karena puasa adalah kemampuan mengendalikan diri, dari waktu ke waktu dan di manapun kita berada. Manusia harus mampu mengendalikan diri tanpa mengenal ruang dan waktu agar tidak terjerumus dalam godaan hawa nafsu durjana. Pada konteks ini pula letak pentingnya kita berpuasa bukan hanya karena perintah Allah semata, tetapi karena kita butuh pada puasa itu sendiri. Andaikata Allah tidak mewajibkannya, maka niscaya manusia itu sendiri yang akan mewajibkan dirinya untuk berpuasa. Itulah makna dari potongan ayat:
 كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ....  ١٨٣
“... diwajibkan atas kamu berpuasa....”
Di sinilah letak urgensinya kenapa kemudian manusia harus ditempa melalui puasa agar menyadari eksistensi dirinya selalu hamba Tuhan yang selalu taat kepada-Nya dan memahami segala pesan-pesan moral-filosofis yang tertuang dalam teks-teks qauliyah-kewahyuan dan kauniyah-sosial-humaniora-kealaman.(*)