-BENAK REKTOR-

MENIMBANG KETERGANTUNGAN TERHADAP US DOLAR

Dipublish Tanggal 13 April 2025 Pukul 03:46 Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag - Rektor IAIN Kendari

Mencermati perang dagang (trading war) antara AS dan China berdampak pada seluruh sendi perekonomian global, tidak terkecuali Indonesia. Dampak yang ditimbulkan di antaranya volatilitas harga saham yang sulit terprediksi, hingga fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap US Dolar (USD) yang sampai menyentuh level di atas  17.000 per USD. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan bilamana harga dolar terus membumbung hingga mencapai level 25.000 per USD, tentu akan memicu krisis moneter di Indonesia. Timbul pula pertanyaan, apakah Indonesia masih harus terus bergantung pada Dolar AS ataukah ada alternatif lain, minimal mampu menempatkan Indonesian Rupiah (IDR) dalam posisi yang tidak tertekan. Dalam konteks ini, maka perlu kiranya dipertimbangkan beberapa alternatif yang menjadi solusi agar posisi IDR tidak terseok-seok ketika berhadapan dengan hegemoni USD.

Pertama, pemerintah perlu mempertimbangkan mata uang rupiah yang terbuat dari emas murni, seperti mata uang Dinar di Timur Tengah. Tidak tanggung-tanggung, minimal menyandingi Dinar Kuwait yang hingga saat ini masih bermain di level 50.000 per Dinar atau mata uang Dinar lainnya. Langkah ini penting dilakukan karena bila krisis moneter tiba, maka kita bisa menjual nilai intrinsik dari Dinar IDR berupa emas, tetapi bila harga dolar stabil, maka kita bisa menggunakan nilai nominal dari Dinar IDR tersebut. Bandingan mata uang IDR selama ini adalah USD dalam transaksi keuangan dan perdagangan dunia, sejak diputuskan tahun 1973. Di mana sebelumnya bandingan transaksi keuangan dan perdagangan masih menggunakan emas. Kita memiliki cadangan emas yang luar biasa, ada di Timika Papua, Busang di Kalimantan, di Bombana Sultra, dll. Oleh karena itu, perlu dipikirkan kembali pembentukan mata uang IDR Emas ini. Gagasan tersebut bukanlah hal baru, namun sudah lama diwacanakan, hanya saja belum mendapatkan respon yang positif dari pemerintah. 

Kedua, perlu kiranya saat ini dipikirkan tentang pembuatan dan pelegalisasian aset kripto dalam bentuk kripto Bank Indonesia (BI-Crypto) dengan terlebih dahulu merevisi UU tentang mata uang dengan memasukan kripto sebagai mata uang resmi bagi Indonesia. Di samping itu, perlunya penguatan regulatif bagi Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mengawasi secara ketat segala transaksi yang menggunakan crypto asset di Indonesia. Hal ini cukup beralasan karena sudah lebih dari 50 negara di dunia yang menggunakan kripto sebagai alat transaksi perdagangan dunia, seperti Venezuela, Singapura, termasuk AS sendiri, dll. Jika ini tidak dipikirkan secara matang, maka mata uang Indonesia akan berada di persimpangan jalan dan terseok hingga ke titik nadir yang memilukan.

Ketiga, perlu kiranya menimbang kembali urgensi pemikiran Mahathir Muhammad tentang konsep penyatuan mata uang ASEAN berupa Mata uang tunggal ASEAN, laiknya Uni Eropa yang mengintegrasikan mata uangnya menjadi mata uang EURO. Buktinya langkah ini cukup efektif guna menciptakan sistem imun mata uang yang dimiliki Eropa agar tidak terganggu dengan kekuatan valas negara lain yang mendominasi, sekaligus menaikan pamor mata uang yang dipunyai Eropa Raya.

Keempat, mengkaji kembali langkah Redenominasi atau rupiah sanering yakni dengan mengurangi tiga angka di belakang nol, seperti 1.000 IDR menjadi 1 IDR. Langkah ini juga bukan hal baru karena Syafruddin Prawiranegara juga sudah pernah melakukannya yang dalam sejarah moneter di Indonesia dikenal dengan istilah “Gunting Syafruddin”. Langkah ini tentunya harus dibarengi dengan transformasi dan transisi yang diafirmasi secara apik oleh pemerintah melalui Kemendag RI karena perlu ada stabilisasi harga berbagai jenis barang di pasaran. Bila sudah stabil maka Redenominasi Rupiah dapat dilakukan. Andaikata US Dolar terus melambung tinggi hingga melewati asumsi harga rupiah per US dolar yang diasumsikan dalam APBN, maka krisis moneter bakal reborn.(*)