-BENAK REKTOR-

TRILOGI MENAG NASARUDDIN DALAM BINGKAI KURIKULUM BERBASIS CINTA (KBC)

Dipublish Tanggal 12 February 2025 Pukul 12:18 Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag - Rektor IAIN Kendari

Tulisan ini menyoal tentang Trilogi Menteri Agama RI Nasaruddin Umar yang berkaitan dengan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC), yakni moderasi, perubahan iklim, dan nasionalisme. Hal ini diungkapkan ketika Menag Nasaruddin berkesempatan membuka secara resmi Rapat Kerja Nasional Ditjen Pendidikan Islam di Jakarta.
 
Trilogi pertama adalah Moderasi. Moderasi dalam perspektif Menag lebih menukik pada tataran operasional yang tersimpul dalam kalimat “Jangan meng-oranglain-kan orang lain”. Kalimat ini mengandung pesan moral yang cukup mendalam bahwa umat lain yang berbeda keyakinan dengan kita, pun harus diakui keberadaannya dan jangan sungkan untuk berkomunikasi. Tidak jarang kita temukan di mana pada saat tertentu ada yang memandang penganut agama lain sebagai yang keliru. Bahkan pada tingkat yang lebih ektrim ada yang memandang umat lain sebagai musuh yang harus dibasmi. Oleh karena itu, kekeliruan teologis seperti ini mesti diluruskan. Teologi moderasi mendorong umat agar lebih dekat dengan ajaran agamanya. Bila umat sudah menjalankan ajaran agamanya dengan baik, maka diyakini bahwa diskriminasi sosial tidak akan merebak, konflik hizontal tidak akan tersulut, kasus bunuh diri akan menurun, perselingkuhan tidak akan meningkat, penyebaran hoaks tidak akan merajalela, ujaran kebencian tidak menjadi-jadi, pedofilia dapat ditekan, perdagangan manusia bisa dieliminir, perundungan tidak akan marak, genosida tidak akan muncul, kasus murid mengeroyok gurunya bakal tidak terjadi, atau pelecehan seksual kepada murid bakal hilang, serta masih banyak kasus lain yang bisa ditekan dan dihilangkan. Moderasi ini sesungguhnya menerangkan tentang bagaimana kecintaan manusia terhadap Sang Khalik dan kecintaan manusia terhadap sesama manusia. Kaitannya dengan kurikulum berbasis cinta (KBC), maka pemahaman tentang moderasi dalam konteks kurikulum cinta ditampilkan melalui sejumlah matakuliah seperti Pendidikan Moderasi Beragama, Pendidikan Deradikalisasi, Pendidikan Antiradikalisme, atau matakuliah lain yang identik dengan pembahasan tentang moderasi.
 
Trilogi kedua yakni Perubahan Iklim. Isu mengenai perubahan iklim mengemuka dan menjadi agenda penting dalam setiap kali pertemuan para pemimpin atau para pemuka agama dunia, tidak terkecuali pada Festival Istiqlal 2024. Seluruh belahan dunia dan pelosok negeri merasakan imbas dari perubahan iklim yang terjadi. Suhu panas dan kering serta cuaca dingin yang sangat ekstrim turut mempengaruhi kehidupan manusia di persada bumi. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dapat memicu terjadi bencana dan prahara kemanusiaan, efek rumah kaca turut mempengaruhi melelehnya bongkahan es di kutub utara dan muncul cuaca panas yang dirasakan manusia, membakar hutan secara serampangan berakibat pada munculnya asap tebal yang menimbulkan infeksi saluran pernafasan akut, kasus illegal logging yang membuat hutan menjadi gundul berakibat pada banjir bandang dan tanah longsor, serta akibat lainnya yang bakal muncul sebagai bentuk perlakuan membabi-buta dari makhluk manusia yang tidak bertanggung jawab. Perubahan iklim identik dengan upaya manusia untuk mensterilkan dan melestarikan lingkungan. Lingkungan yang bersih dan terawat dengan baik berdampak pada terjaminnya kondisi lingkungan dan meningkatnya derajat kesehatan manusia. Fenomena yang sering kita jumpai adalah ditemukannya kondisi lingkungan yang kotor, berbau, dan tidak terawat. Persoalan sampah misalnya merupakan hal yang sepele, tetapi bila tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan dampak buruk bagi manusia. Oleh karena itu, gerakan ekonomi sirkuler sangat urgen untuk digalakan. Ekonomi sirkuler sejatinya merupakan program nihilisasi sampah di lingkungan manusia. Ekonomi sirkuler menekankan pola ambil – pakai – pilah – olah (take – use – sort – process) dan berupaya memperpanjang siklus hidup dari suatu produk yang dihasilkan serta pemanfaatan bahan baku dan sumber daya yang ada, sehingga dapat dipakai selama mungkin dalam jangka waktu yang sangat panjang. Sampah organik seperti sisa-sisa makanan dapat diolah menjadi pupuk organik, sedangkan sampah non organik, seperti plastik, kertas, besi, tembaga dan kaca dapat diolah kembali menjadi bahan baku kemudian diproduksi menjadi alat-alat kebutuhan manusia. Sistem ekonomi sirkuler pada prinsipnya relevan dengan kecintaan pada lingkungan. Bila moderasi menerangkan kecintaan manusia dengan Sang Khalik dan kecintaan karena sesama manusia, maka perubahan iklim menjelaskan tentang kecintaan manusia dengan alam atau lingkungannya. Secara operasional, pemahaman tentang perubahan iklim dalam konteks kurikulum cinta ditampilkan melalui sejumlah matakuliah seperti Teo-Ekologi, Fikih Lingkungan, Sosiologi Lingkungan, atau matakuliah yang sejenis.
 
Trilogi ketiga yaitu Nasionalisme. Nasionalisme menyuratkan kecintaan pada bangsa dan Negara serta menyiratkan rasa cinta yang tinggi terhadap tanah air Indonesia. Nasionalisme sebagai salah satu trilogi Menag Nasaruddin harus selalu dipupuk dan dipertebal karena akhir-akhir ini Generasi Millenial dan Genzi nyaris memudar nasionalisme mereka. Nasionalisme mendorong kita untuk mengerti bahwa bangsa besar ini tidak berdiri dengan sendirinya tanpa ada pengorbanan dari founding father, maka sepatutnyalah kita memberikan apresiasi tanpa batas kepada mereka dengan cara merawat dan mendedikasikan diri kepada bangsa dan Negara. Generasi Millenial dan Genzi khususnya, tidak boleh dengan mudah melupakan pengorbanan para pahlawan bangsa dan mengabaikan simbol-simbol kebangsaan. Generasi Millenial dan Genzi wajib mengetahui dan menyanyikan lagu-lagu nasional, menghafal dan mengamalkan Pancasila sebagai landasan idil bangsa, mengetahui dan sedapat mungkin menghafal dan mempraktikan isi dari Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional Negara, penghormatan kepada bendera merah putih sebagai bendera Negara, penghargaan terhadap keragaman suku, budaya, dan bahasa yang tersimpul dalam Bhinneka Tungga Ika. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah literasi terhadap sejarah dan kepahlawanan para pendiri bangsa. Oleh karena itu, pelajaran untuk membangkitkan semangat nasionalisme generasi muda saat ini sangat krusial adanya. Nasionalisme ini menjadi agenda yang dapat diorder, ditanamkan dan dibangkitkan melalui kurikulum yang dikenal dengan kurikulum berbasis cinta (KBC). Secara teknis, pemahaman tentang nasionalisme dalam konteks kurikulum cinta ditampilkan melalui sejumlah matakuliah seperti Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, perlu diwacanakan lagi betapa pentingnya matakuliah Sejarah Nasional Indonesia, atau matakuliah lainnya. Penempatan matakuliah ini dapat dilakukan secara insersif atau independensif. Secara insersif, guru dan dosen dapat menyiapkan beberapa pokok bahasan yang akan didiskusikan bersama dengan siswa atau mahasiswa. Demikian pula secara independensif dapat dibuat satu matakuliah mandiri yang secara keseluruhan membahas tentang moderasi beragama, perubahan iklim, dan nasionalisme. (*)